Kotak Kotak dalam Kepala

I selfie, therefore I am

ketika kamera-kamera saku dan layar ini telah masuk ke duniah pameran dengan nyatah dan manjah~ kuingin berkata: tolong berhenti menarik realita dan memasukkannya dalam wacana agar sesuai dengan teori yang telah ada.

Sering nonton pameran seni kah? Akhir-akhir ini perasaan tambah rame aja ya?

Iya, ini lagi terjadi gejala “boom” apresiasi seni. Di mana-mana pameran berada akan ramai diserbu pengunjung yang datang untuk melihat-lihat, dan tentu saja ritual pemujaan yang wajib ada ala generasi zaman now: selfie!

Pengunjung-pengunjung yang ingin melakukan selfie ini akan bersikap selektif dalam melihat dan memilih karya yang menurutnya bagus dan kemudian di depan karya tersebutlah dia akan berselfie. walaupun kadang tidak se-selektif itu di ruang pameran dan memilih berfoto dengan karya apa saja yang mereka temui, tapi nanti ketika sudah dalam proses menyeleksi foto mana yang bagus-tidak bagus-kurang bagus, pengunjung ini akan memilih frame mana yang menurutnya paling baik dalam menampilkan kombinasi antara dirinya dan karya yang dipilihnya.

Nah nah… Terkadang usaha mereka untuk berfoto dengan pose terbaik terlampau ulet dan penuh ambisi. Maka terwujudlah beberapa gaya sembari colak-colek bahkan bisa menyandar penuh perasaan ke karya-karya yang tidak dirancang untuk berinteraksi fisik. Tidak sedikit dari upaya-upaya itu yang berakhir pada rusaknya karya akibat jatuh atau minimal diomelin satpam atau penjaga galeri.

Yang itu tadi tidak patut diikuti.

Tapi yang namanya kebebasan untuk mengekspresikan diri yang dimiliki darah muda, saya tetap mendukung sepenuh jiwa.

Yang bikin ambigu nih, beberapa publik seni menilai kehadiran mereka mengganggu. Dengan penghakiman bahwa mereka cuma datang untuk foto-foto ajah dan tidak ada niatan untuk mengapresiasi, para generasi zaman now ini mendapat cap negatif. Pemberian gelar negatif tersebut sebenarnya termasuk akumulasi dari banyak hal. Tidak saya pungkiri terkadang ada sebagian dari pengunjung muda ini yang terlampau ‘menguasai arena’ cukup lama demi foto-foto sehingga membuat pengunjung yang ingin menatap-natap karya terhalang aktivitas mereka. Kadang mereka juga memunculkan suara-suara yang bisa mengusik pengunjung lain. Atau ada juga yang sempat-sempatnya memadu kasih dengan intim di ruang pameran yang bikin pengunjung lain ‘beruntung’ melihat pemandangan tersebut merasa risih. Hahaha mungkin mereka enggak kepikiran kalau tempat semacam galeri atau musium itu dilengkapi cctv yang dipantau 24 jam setiap hari demi menjaga keamanan.

Walau bagaimanapun mereka itu punya hak untuk tidak dihakimi sebagai pengunjung yang tidak melakukan apresiasi. La wong apresiasi sendiri sekarang ini problematik kok definisi dan praktiknya, gimana itu bisa dijadikan patokan untuk menghakimi orang lain cobak.

Menurut kabebei, apresiasi berarti 1 kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; 2 penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; 3 kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah, terus mengapresiasi sendiri memliki definisi melakukan pengamatan, penilaian, dan penghargaan (misalnya terhadap karya seni). Naaaahh kon! La kan apa yang mereka lakukan dalam aktifitas selfienya sudah memuat itu semua, terus maunya eyip?

Kalau menurut teori apresiasi, memang ada serangkaian proses yang harus dilakukan dan dicapai untuk dapat mencapai ke tahapan simpati terhadap karya seni. Tapi rek, itu teori jaman super biyen, yang tujuannya untuk melakukan kritik seni (tapi tidak kritis dengan metodologinya sendiri :p). Tujuannya menghasilkan penilaian holistik terhadap karya seni. Metode ini sendiri dipioneri oleh Edmund Burke Feldman yang menyusun tahapan untuk mengkritik sebuah karya seni berdasarkan formalistiknya yang dihubungkan dengan wacana estetika. Kemudian berkembang dan disempurnakan lagi dengan menambah wacana historis serta wacana senimannya untuk mendapatkan “keutuhan” bahasa-ide-konsep-tujuan si karya itu sendiri. Tapi plis balik lagi, ketika karya udah dipamerkan, mau dibaca apa sama apresiatornya ya bebas-bebas aja (mirip-mirip the death of author gitu).

Ini semua kan konsep-konsep yang berkembang di Barat-Jauh, ikut dibawa kesini pas jaman kolonialisme dan seiring waktu berkembang juga berkat teknologi informasi. Di Indonesia juga sama sih, kegiatan-kegiatan seni gini dulunya hanya bisa dilakukan oleh kaum merdekanya inlander (sepurane) dan menjadi sebuah kemapanan bahkan hingga tingkat perguruan tinggi zaman now. tapi di Barat-jauh sendiri konsep ini udah banyak mendapat perlawanan loh, misalnya yang berdampak hebat sampai detik ini adalah gerakan dada (bukan dalam arti harfiah, hahaha plis deh). Pada akhirnya gerakan ini berusaha meninggalkan akar sejarahnya mengenai art-aestheticism, dan pengaruhnya menyebar ke seluruh dunia termasuk di Indonesia. tapi nih, di Indonesia lucunya gerakan dadaisme ini seolah terkonsentrasi pada aktifitas seniman saja, si galeri-kurator-dan kritikus seninya enggak, masih adem ayem aja pake pandangan sebelum-sebelumnya. Padahal mereka mengagung-agungkan karya dadaisme juga, tapi dadaisme yang masih ada estetikanya, dadaisme yang tekniknya masih diutamakan, kasarnya “dadaisme mu itu sampai konsep aja ya, kalo untuk visualnya ya tetep harus ‘mewujud’ “. uhuk! (belum dibuktikan pake riset mendalam nih, masih kumpulan asumsi yang masih butuh tambahan bukti lagi).

Untuk term seni adalah kehidupan sehari hari dan kehidupan sehari hari adalah seni yang diusung oleh konsep contemporary art yang hidup dengan spirit tidak ada batasan lagi antara seni dan bukan seni, ataupun author dan apresiator, mempertahankan keadiluhungan seni sesuai dengan konsep jaman old akan lebih bermasalah lagi nih. Segala bentuk upaya dalam mempertahankan keadiluhungan seni ini akhirnya berimbas pula pada pandangan terhadap aktifitas apresiasi generasi zaman now. Dimana anggapan kalau foto-foto aja di ruang pameran itu apresiasinya ‘cethek’.

Lah ya mau gimana ya, buat generasi zaman now yang setengah cyborg (berasa enggak hidup kalau enggak pegang ponsel atau laptop) hidup dengan kamera dan screen itu kan part of everyday life, jadi si gadget ini juga pasti akan ngikut apapun aktifitas si empunya termasuk dalam mengapresiasi seni.

Hmm…. gimana dong kalu kenyataannya sekarang udah berbeda, udah tidak sama lagi dengan teori yang agung banget di zaman itu.

Yang berubah bukan cuma karyanya nih, tapi cara hidup manusianya juga.

boleh enggak kalau saya request teorinya diamandemen biar sama-sama enak gitu.

jeng jeng jeng! #kemudianlahirlahkepentinganbaru

the end.

1fatcatartmain

1 Comments Add yours

  1. orangbaikbaik berkata:

    Menurut KBBI yang benar dan baku adalah “aktivitas”, bukan “aktifitas”, karena berasal dari serapan Bahasa Inggris “activity”. Salam baper!

    Suka

Tinggalkan komentar